About Me

My photo
This is what is shown when I press the enter button : Others see you as fresh, lively, charming, amusing, practical, and always interesting; someone who is constantly in the center of attention, but sufficiently well-balanced not to let it go to his head. They also see you as kind,considerate, and understanding; someone who will always cheer them up and help them out.

Wednesday, May 7, 2008

Mbak Ayu Pengen Jadi Pramugari

Mbak Ayu ini termasuk salah satu orang yang kukagumi, jalan hidupnya kok ya lempeng-lempeng saja nggak banyak belokan dan tikungannya. Dan orangnya juga nggak neko-neko. Mbak ayu berasal dari salah satu kampus favorit di negeri ini yang dulu terkenal sebagai kampus ndheso tur merakyat. Kampus yang sekarang sudah jadi kampus mahal karena BHMN, yang mahasiswanya sekarang sudah jamak ngomong “lu gue” dan membawa notebook ke kampus. Walah, yang seperti itu kok nggak kebayang pas jamannya Mbak Ayu masih menuntut ilmu ya.
Anyway (malah jadi ngrasani kampus lho) si Mbak Ayu ini tanpa kesulitan berarti diterima di BUMN gemuk yang saking gemuknya tidak gesit gerakannya. Padahal Mbak, di luar sana itu banyak yang masih gedongsangan nyari kerja. Puji syukur Alhamdulillah (wah, klo ngomongin Mbak Ayu yang satu ini, bisa banyak puji syukur Alhamdulillah yang keluar), karena dengan begitu berarti Mbak Ayu tidak merasakan susahnya nasib sekian ribu pencari kerja di negeri ini.
Nah, dengan turut bergabung di BUMN itu tadi, Mbak Ayu sudah bisa membiayai hidupnya sendiri di belantara ibu kota, intinya tidak ngrepoti orang tua. Termasuk bisa jalan-jalan buat ngecap paspor dan pergi umroh.
Di suatu malem, ketika lagi aku baca buku Amy Tan, The Joy Luck Club (ini buku kuno, dapetnya aja dari situs yang njual buku bekas. Secara udah nggak dicetak lagi), Mbak Ayu berkenan berkunjung ke kosanku dan tiba-tiba sudah masuk ke kamarku.
“Dek Mbul (ini panggilan sayangku dari orang-orang terdekat, berasal dari kata dasar “gembul” yang menggambarkan kapasitas dan kemauanku dalam menampung makanan), kerja jadi pramugari itu enak ya kayaknya” tanpa basa-basi dan kata pembuka si Mbak berkata setelah meletakkan badan di karpet kamar. “Kadang pengen nyobain kerjaan yang lain, memang rumput tetangga selalu lebih hijau ya, Dek”
“Enak gimana to, Mbak? Lha wong kerja itu ya pasti ada enak nggak enaknya. Mungkin buat yang liat pramugari itu enak, kerja glamour, tapi kok kayaknya ya nggak enak juga ya Mbak. Secara kemaren pas aku pulang Jakarta naek G*r*d*, ndilalah dapet kursi paling belakang nggak sengaja denger obrolan mas pramugara dengan pursernya (purser lho, bukan puser). Kata Pak Purser,”…untung dapet yang penerbangannya pendek pendek, lha klo panjang panjang pendek, balikpapan xxxx ….nyebut nama kota, tapi aku lupa, bisa xxxxx, lupa kata-katanya, pokoknya intinya tepar, gempor, dan sebangsanya. Kan berarti capek juga mbak, nggak enak juga.” jawabku agak ngengkel (ngengkel = ngeyel)
Si Mbak masih belum berubah pikiran, “Jadi pramugari itu kan enak bisa terbang ke mana-mana gratis. Sebenarnya sih yang menarik buat aku bukan itu, tapi bisa liat banyak tempat baru, kerja nggak monoton. ”
Aku agak geli juga dengan argumen si Mbak, kok kayak anak kecil saja masak alasannya enak karena bisa terbang ke mana-mana gratis.”Mbak, kalo pramugari terbang disuruh bayar mana ada yang mau, wong mereka itu kerja. Mosok disuruh bayar, lha nanti nggak beda dengan customernya (nggak mau pake kata penumpang, secara kita mbayar kok disebut “numpang”). Klo airline internasional sih mending Mbak, memang lebih banyak tempat yang bisa dilihat, daerah jelajah juga lebih luas. Tapi kalo maskapai yang terbangnya nggak ke banyak kota bisa bosen juga kali Mbak. Jakarta-Semarang, Jakarta-Pangkal Pinang, Jakarta-Solo, lama-lama jenuh juga. Dulu tuh aku pernah lho satu kosan sama pramugari-pramugari S*******a, sama aja kayak kita Mbak. Pulang kerja juga capek, wong mereka di pesawat kan bukannya tidur kayak kita, tapi harus melayani penumpang. Mana kalo mau terbang pagi, kita masih tidur mereka udah mandi, dandan rapi, pake sepatu, trus nunggu jemputan. Lha itu persiapannya dari jam-jam kita biasa sholat tahajud. Apa nggak hebat mereka itu, yang orang lihat glamournya saja kali Mbak tapi sebenernya kerja keras juga (pantesan kadang ada yang jutek gitu ya klo di pesawat :D)”
”Maksudku tuh gini lho,” si Mbak menjelaskan lebih lanjut,”aku pengen bisa punya waktu luang buat bepergian ke banyak kota, banyak negara, ketemu banyak orang, dan melakukan hal-hal yang aku sukai di tempat-tempat itu. Kalau aku jadi pramugari, hal-hal itu lebih masuk akal buat terjadi daripada kalau aku dalam posisiku sekarang kan? Eight to five, five days a week, nggak bisa ditinggal. Padahal minatku bukan di hal-hal monoton yang rutin begitu. Yang bisa membuat aku bahagia itu, kalau bisa melihat gunung, laut, alam bebas, trus jalan-jalan ke lokasi baru, belajar budaya dan bahasa baru. Tapi kok terdamparnya di posisi begini ya?”
Wah, dalem juga nih batinku. Ini seperti orang yang menyadari bahwa ketika dia menoleh ke belakang ternyata jalan hidupnya tidak sama seperti yang dia impikan.
“Lha trus gimana Mbak, apa mau melepas pekerjaan yang sekarang?”
”Nah itulah Dek, terkadang kita sudah merasa sedemikian nyamannya sampai kita lupa bahwa ada mimpi yang belum kita raih. Sudah males buat keluar dari comfort zone kita. Jadinya ya sekedar menjalani hidup. Penekanan utamanya bukan di pertanyaan maukah melepas pekerjaan yang sekarang, namun pada apakah hidup kita sudah sesuai dengan yang kita inginkan? Dan bila tidak, beranikah kita membuat suatu langkah radikal buat merubahnya? Susah lho itu, nggak gampang.”
Kayaknya topik Mbak Ayu, bahwa menjadi pramugari itu enak sekedar preambule saja, wong nyatanya inti obrolannya dualem tuenan (versi hiperbolis dari sangat dalam). Comfort zone, langkah radikal, walah kata-kata apalagi yang akan muncul dalam diskusi ini?
”Oh, ini mungkin seperti saat saya UMPTN buat kedua kali itu Mbak, (dulu saya sempet kuliah setaun di kampus negeri yang satu dan pindah ke kampus negeri yang lain taun depannya). Dulu memang awalnya, sejak SMU saya sudah ngimpi-ngimpi kuliah di jurusan itu, pas giliran bener-bener ketrima kok nggak seperti bayangan saya ya. Makanya taun depannya saya UMPTN lagi, alhamdulillah ketrima.”
”Itu bedanya Dek, saat kita masih muda (aduh Mbak, lha sekarang ini aku juga masih ngerasa muda je) dengan saat ini. Sekarang taruhannya lebih besar. Aku ada beberapa kenalan yang terus menerus mengeluh tentang pekerjaannya, perusahaan tempat dia bekerja, atmosfer kerjanya. Tiap saat keluhannya selalu sama, tapi ya itu tetep aja mereka kerja di situ. Nggak pindah atau berusaha pindah. Awalnya aku suka ngasih info lowongan kerja, lama-lama ya nggak pernah lagi. Soalnya keluhan mereka itu sekedar curhat saja, tanpa upaya berarti. Dikasih info lowongan berapa pun juga nggak bakalan dicoba. Banyak yang seperti itu, itu sekedar contoh saja.....” si Mbak tersenyum.
Aku manggut-manggut saja, tau banget arti kata si Mbak dengan ”sekarang taruhannya lebih besar”.
”Terus gimana dong Mbak? Kita harus milih apa kalau kondisinya seperti itu?”
” Hidup kita ini kan ujian sebenernya. Kita punya kepala buat mikir (mungkin maksud si Mbak otak yang buat mikir, bukan kepala), punya hati buat merasakan. Kalau ternyata dalam memutuskan sesuatu, kepala dan perasaan kita itu salah ya paling tidak kita sudah berusaha. Sudah berusaha itu kuncinya, intinya. Nah sekarang, apakah usaha kita sudah maksimal?” wajah manis si Mbak sekarang jadi serius.
Wah, sialan bener. Kok bisa kata-kata ”apakah usaha kita sudah maksimal” keluar di obrolan ini. Lha jelas-jelas tersindir to saya, secara banyak hal yang saya lakukan dengan target sedang-sedang saja, jelas-jelas achievable. Tau jam kantor mulai jam delapan pagi, baru mandi jam setengah delapan. Mentang-mentang kos deket kantor. Kalo nyampe kantor telat, ya biasa saja. Sejauh tidak ada kerjaan menanti, tak ada rapat pagi, telat dikit gak papalah. Ini apa tidak menjelaskan dengan jelas sekali bahwa usaha saya buat tiba di kantor on time sangat tidak maksimal? Ini baru masuk kantor lho, belum yang lain-lain. Wah, harus ada usaha pembiasan arah pembicaraan nih (pembiasan = pembelokan, entah kenapa saya kok tiba-tiba inget Bu Nunuk guru fisika SMP saya), kalau nggak saya bakalan merasa bersalah, merasa jadi pesakitan, jadi tertuduh, spesimen manusia yang tidak berusaha maksimal, blaik tenan.
”Nah kalau begitu, untuk kasus temen-temen Mbak yang nggak pindah kerjaan itu bisa jadi memang ijtihad mereka, hasil kerja kepala dan perasaan mereka mengatakan untuk tidak pindah kerja. Kan bisa saja, Mbak.”
”Kalau memang begitu, ya jangan keseringan mengeluh kalau memang ijtihadnya nggak pindah kerjaan...”, si Mbak kembali tersenyum manis.
Dalam hati aku agak bingung, lha yang tadi masuk kamarku komplen tentang rumput tetangga pramugari yang lebih hijau itu sapa lho? Bukankah obrolan ini diawali dengan ketidakpuasan? Dengan keluhan? Wah si Mbak ini kayaknya memang pengen membuatku mikir dikit, itung-itung olahraga otak. Mungkin dipikirnya kerjaan staff nggak banyak mikir, daripada turun IQ mending dipanasi. Kalo tak pikir-pikir, obrolan dengan si Mbak ini menggiring ke arah pemikiran dan perenungan sebagai berikut :
1. Rumput tetangga selalu lebih hijau, beware
2. Temukanlah hal-hal yang kita sukai yang bisa membuat kita bahagia dan lakukan hal-hal tersebut (jangan cuma ditemukan doang)
3. Coba tengok ke belakang, sudahkah hidup kita sesuai dengan yang kita impikan?
4. Apa batasan comfort zone kita (yang disebut Mbak Ayu dengan taruhan yang besar tadi), beranikah kita keluar dari comfort zone buat mencapai mimpi kita?
5. Apakah dalam hidup ini, kita sudah berbuat maksimal?
6. Apakah tindakan, keputusan dan pilihan kita sudah dibuat dengan pemikiran matang (kepala dan hati)?
7. Ketika kita sudah menjalani pilihan kita, apakah kita sudah ikhlas menjalaninya? Tidak mengeluh? Tidak menghujat?
Dan ketika aku masih tercenung-cenung dengan diskusi ini dan betapa tidak nyambungnya antara topik pembuka dan penutupannya (waduh Mbak, maklum masih belajar jadi yang nyangkut bukan hal-hal penting tapi malah betapa tidak nyambungnya pembukaan dan penutupannya), Mbak Ayu sudah pergi keluar dari kamarku.....

Gondangdia kecil, 27-29 Maret 2008

No comments: