About Me

My photo
This is what is shown when I press the enter button : Others see you as fresh, lively, charming, amusing, practical, and always interesting; someone who is constantly in the center of attention, but sufficiently well-balanced not to let it go to his head. They also see you as kind,considerate, and understanding; someone who will always cheer them up and help them out.

Friday, September 19, 2008

Sempit atau Luas?

Dunia itu sempit atau luaskah? Ini adalah topik baru obrolan dengan Mbak Ayu. Semalem Mbak Ayu nginep di kosanku, pengen ngobrol katanya. Pagi itu Jakarta mendung, aku dan Mbak Ayu masih leyeh-leyeh, males-malesan buat mandi pagi. Secara perut sudah terisi nasi goreng dan secangkir kopi, obrolan pun dimulai.

”Mbak, sebenarnya dunia itu sempit atau luas sih?” tanyaku.

”Hmmm....pertanyaan kok nggak jelas, dari sisi apanya? Kilometer persegi? Ya jelas luas, wong kita jalan aja juga nggak habis-habis. Atau dari karakter mondialnya, worldwidenya? Ya jelas sempit, coldplay baru rilis album di yuke (maksudnya UK) sana eh, belum ganti hari di sini juga udah bisa didengerin. Atau dari sisi empatinya (baru tau dunia juga bisa punya empati), sisi manusiawinya? Nah kalau itu, kayaknya dunia itu luas. Coba tau nggak kamu nama pak satpam yang ada di penginapan depan kosan?”

”Wah, ya nggak tau Mbak. Wong di depan itu selalu pada nggerombol gitu, males mo nyapa-nyapa. Malu juga.”

”Nah itu, jadi yang keliatan deket ternyata jauh juga kan. Wong Bapak itu kan itungannya juga tetangga dekat.”

”Klo kemarin itu aku belanja di body shop Menteng Huis (sebenernya banyakan nyobain testernya daripada belinya), ternyata dia support comunity development somewhere di rural area mana gitu, Mbak (dah kebiasaan klo masuk detil pasti lupa deh, itu kemarin di negara mana ya???). Seru juga ya Mbak, orang membantu sesamanya yang tidak dikenal. Manusia itu hebat ya Mbak, punya potensi kebaikan.”

”Lha kamu ini memang ndheso!! Mosok baru sekarang ngomongin potensi kebaikan manusia. Nyadhar kok telat to, Dek Mbul?! Itu harusnya udah kamu sadari dari dulu, lha wong potensi ke arah kebaikan itu kan modal dasar manusia to?”

”Lho Mbak, bukannya baru nyadar. Tapi baru jadi topikku saja (agak ngeles).”

”Nah itulah, harusnya manusia itu bisa memberikan manfaat buat sesamanya, membawa kebaikan di lingkungan dia berada. Klo bisa lebih jauh lagi efek kebaikannya, ya lebih baik.”

”Lha trus Mbak, kalau seperti aku ini, yang manusia biasa-biasa saja, yang sekedar menjalani, pergi pagi (menjelang siang, suka telat ngantor) pulang malam (klo ini bener, lebih rame di kantor daripada kosan..he2), trus efek kebaikan buat sesamanya dimana, Mbak?”

”Wah Dik, njenengan ini apa nggak merasa ada manfaat sedikit pun buat lingkungan? Kok melas men (melas men = kasihan sekali, poor you)”

”Bukan gitu Mbak, aku ini kan jam kerja pasti, artinya banyakan waktu ya di kantor, bersosialisasi dengan masyarakat dengan lingkungan, ya banyakan di kantor, Sabtu Minggu udah abis buat agenda pribadi (termasuk nyuci baju). Aku bisanya berbagi dengan sesama ya lewat bayar pajak penghasilan itu, bayar zakat, infaq, gitu-gitulah Mbak. Yang seperti itu apa nggak sudah standar? Kalau semua orang pencapaiannya seperti aku, kapan majunya umat manusia ini? Ibarat prestasi kok ya pas-pasan.”

”Lha yang Dek Mbul pengen itu prestasi yang seperti apa? Yang kelas dunia? Yang seperti John Wood di Himalaya, seperti Arthur Gish dan Ang Swee Chai di Palestina?”

“Wah ya nggak trus jauh gitu Mbak, bandingan kok seperti mereka. Kalau masalah hasil akhir, itu di luar kuasa kita kan Mbak. Siapa tahu sebenarnya ada John Wood – John Wood lain di Himalaya, cuma mungkin tidak tereksposs atau pencapaiannya tidak seperti John Wood. Tapi paling tidak mereka itu kan bergerak Mbak, menerima tantangan, mau berjuang, nggak cuma sekedar mikir dan merasa buntu seperti aku ini. Apa mungkin tataranku baru sekedar tataran mikir ya Mbak? Belum masuk bagian actionnya. Jadi inget pak bos di kantor, kita mikir ”what”nya dulu, baru setelah itu ”how”nya. Cuma kalau di aku mikir kok ya kelamaan. Kegelisahan seperti ini udah ada sejak lama lho, Mbak. Tapi ya itu tadi, gelisah tok, bergerak tidak.”

Mbak Ayu senyum-senyum sendiri, sepertinya geli melihatku yang kecewa dengan diri sendiri.

”Dek, ini kegelisahan yang bakalan terus kamu bawa. Dan jangan sampai kegelisahan itu menemukan akhirnya. Namun biarkan kegelisahan itu menemukan jalannya. Ketidakpuasan yang positif itu bisa membawa ke arah yang lebih baik, tugasmua adalah membuatnya menemukan jalannya, menemukan caranya.”

Mbak Ayu tersenyum, keluar kamar membawa piring bekas nasi goreng dan cangkir kotor bekas kopi. Sepertinya obrolan ini berakhir di sini.

Gondangdia Kecil, 5 Mei -18 September 2008

Beberapa jawaban pemikiran ketika dimunculkan pertanyaan :

”Aku kok merasa blm bermanfaat u/ org bnyk ya.pencapaian tertinggi mns ki opo to?mosok yo gur ngene2 tok”

- an old friend in colleague :

“Mbuh ya..Aq yo ra ngerti.aq yo isih golek2,je..lha nek menurutmu piye?”

Ini yang bagus, ditanyain malah balik nanya. Model senior leaders di T***** saja :D

- dear old friend semasa SMA,in separated text messages he wrote :

“Ya memenuhi kodrat dl to..G usah jauh2”

“Pk nalurimu dong…Naluri wanitamu…”

“Koe ki bar mempelajari opo to?”

Kalimat yang paling akhir itu lucu banget deh ;)

- Temen sekamar pas ribuan mil dari tanah air :

“mns opo?Ya itu perasaan positif jg sih, tdk cpt berpuas diri, dan hrsnya diikuti aksi. Ini nasehat buatku jg lho ;) kok tiba2 kepikiran ini?

Setuju pada kalimat “…dan harusnya diikuti aksi”

- Spiritual suhu pas di kos Jogja :

”Sama cil. Hidup kuwi pilihan. Kita harus pandai memanfaatkan pilihan spy maksimal. Mengembangkan cabang usaha perlu. Usaha u/ lebih memberi makna pd kehidupan”

Cilà dari kata Ucil, panggilan sayang semasa di kos. Dulu paling kecil sih :D

- Adek kelas pas kuliah, in separated text messages :

“Hehe…lha pye mba?”

“Lha nak filosofi kuwi wis ono ket biyen mbak. Mung yo kari wonge gelem ngecakne pora. Makane 3 amalan abadi ki slh 1ne yo ilmu sing manfaat. G mung ilmu tok”

- Teman kecil yg ngributin upgrade jaringan, he wrote :

“Lha emange ada apa?”

Followed by a long phone conversation

- Teman lembur mengurai benang kusut di kantor sampai jam 11 malem (jangan lagi deh, kapok):

“Wee…1)sorry mba, tadi malam *** lg di zip di mobil..di paket ke purbalingga 2)knp tiba2 melow begitu?ada apa?3)jln org kan beda2,penvapaiannya beda2,standarnya beda2,rizkinya jg beda2..kan? target tahun ini apa? Sdh bersyukur dgn yg d dpt?”

- A very old friend sejak pakai putih biru :

“Kdg awake dhewe g sadar lho klo qta b’manfaat mggo wong akeh…mgk ono sg drg iso km capai dadi rumongso ky ngono…”

Wednesday, May 7, 2008

HE has HIS own plans

Beberapa waktu yang lalu aku sempet ngobrol dengan seorang teman mengenai obsesinya di hari ulang tahunnya. Si teman ini ingin ngambil cuti sehari di hari bersejarah tersebut untuk dinikmatinya sendiri saja, sekali-kali memberi perhatian buat diri sendiri, mo jalan-jalan, katanya.
Wah, seru juga pikirku. Menghabiskan dan menikmati hari tanpa gangguan kerjaan, patut dicontoh nih idenya. Kalau yang aku pengen, bisa pulang ke rumah pas ulang tahun. Tapi kok ya kalender menunjukkan hari Selasa untuk tanggal ulang tahunku di tahun 2008 ini. Lha klo mo cuti ya nanggung bener, cuti di hari Selasa, wah gak manis kedengarannya. Tapi memang segala sesuatu itu sudah ada yang mengatur, dan terbukti benar pada kasusku. Ternyata selama tiga hari, mencakup (walah, mencakup) sehari sebelum, hari H dan sehari sesudah tanggal ulang tahunku kok ya ada penugasan ke Semarang. Ha..ha..ha...bener bisa tercapai misi sederhanaku itu.
Jadi inget keinginan-keinginan kecil yang ternyata bisa terlaksana. Sebagai pecinta rumah kuno, ada rumah yang membuatku tertarik, letaknya di jogja, samping Neutron (gak usah di sebutin Neutron Jogja cabang mana, ketauan nanti he2...). Waktu itu baru lulus SMU (waduh, berapa tahun yang lalu ya?) dan saat itu lagi musim-musimnya bimbingan belajar. Hijrahlah ke Jogja buat belajar di Neutron, dan bertemulah dengan rumah cantik bercat putih itu. Kok kayaknya lovely dan asri, penasaran pengen tau suasana dalamnya. Setahun lewat, sudah kuliah di Semarang kelupaan dengan rumah cantik itu, dan ternyata jalan cerita membawa kembali ke Jogja. Kalau naik bis dari kampus teknik UGM ke kosan, biasa nglewati rumah itu. Hampir tiap hari lewat, cuma bisa ngliat saja. Jadi keinget lagi dengan keinginan terpendam jaman dahulu kala untuk bisa melihat rumah itu dari dekat nggak cuma dari jendela bis kota. Lha mosok mo nekat ngetok pintu, kalo dikira pemulung or minta sumbangan kan bahaya.
Ternyata oh ternyata....adalah pada suatu ketika Mbak kos menawarkan buat nggantiin beliau ngajar privat. Secara si Mbak udah busy, jadi perlahan-lahan mengurangi kesibukan yang sekiranya bisa mengganggu kuliahnya. Yak betul saudara-saudara, adalah penghuni rumah itu yang perlu diberi kursus privat. Anaknya dulu itu masih SMP, manis, berambut panjang, dan nggak rewel. Yang jelas bisa masuk dong ke rumah cantik itu (meski ya sebatas ruang tamu) dream came true to?
Yang seperti itu kuanggep kejutan-kejutan manis dari Sang Pengatur alam semesta, tiada isi hati yang tak terscan oleh-Nya. Termasuk bisa masuk ke kampus and jurusan impian. Ceritanya, sebagai anak terkecil dengan hanya satu kakak laki-laki mana jarak usia jauh lagi, si Don jadi seperti role model. Hanya sempet serumah dengan Don selama 9 tahun pertama usia, karena beliau kemudian kuliah di UGM dan termasuk anak kos yang betah di rantau, jarang pulang, Bo! Berbekal skema role model tadi, jalan hidup jadi agak-agak menjiplak, SMU ambil ekstrakurikuler PMR, dan UGM menjadi semacam next place to go sejak jaman SD. Nah, agak sedikit terjadi penyimpangan karena pas kelas 2 SMU ternyata kepincut dengan hal-hal yang berhubungan dengan laut. Jadinya, dengan sadar memilih kampus yang ada laut-lautnya, UGM goodbye secara nggak ada bau-bau laut (ah, mimpi anak SD aja). Kuliah deh di jurusan impian jaman SMU. Ternyata di kampus laut cuma betah setaun dan taun berikutnya sudah pindah ke UGM. Tanpa maksud apa-apa lho, secara memang pengen ngambil jurusan yang ada di situ. Tapi kalau dipikir-pikir, what a chance He’d given to me (belum termasuk kesempatan-kesempatan lain sesudahnya dan yang akan datang) aku bisa sempat kuliah di jurusan yang aku inginkan dan kemudian kuliah di kampus yang aku cita-citakan. Murah hati sekali.
Itu rencana yang jadi kenyataan, yang tidak jadi kenyataan? Ada juga, dengan sweet result ;)
Secara tahun 2002-2003 teman-teman sudah banyak yang lulus dan gerbong Industri’98 sudah mulai kosong jadilah tanggal 19 November 2003 sebagai target wisuda. Lah ternyata, baru bisa dapat surat keterangan lulus setelah revisi tugas akhir di tanggal 17nya. Karena wisuda harus didaftarkan sebulan sebelumnya (nggak tau peraturan sekarang) akhirnya cukup bisa berpuas diri dengan ikut wisuda 19 Maret 2004.
Namun ternyata, om Gemuk bekerja sama dengan kampus ngambil talent poolnya dari wisudawan 2004. Alhamdulillah, katut….kalau jadi wisuda sesuai target di 2003 mungkin jalan hidupku jadi lain.
Terbukti, HE has HIS own plans...... J

Mbak Ayu Pengen Jadi Pramugari

Mbak Ayu ini termasuk salah satu orang yang kukagumi, jalan hidupnya kok ya lempeng-lempeng saja nggak banyak belokan dan tikungannya. Dan orangnya juga nggak neko-neko. Mbak ayu berasal dari salah satu kampus favorit di negeri ini yang dulu terkenal sebagai kampus ndheso tur merakyat. Kampus yang sekarang sudah jadi kampus mahal karena BHMN, yang mahasiswanya sekarang sudah jamak ngomong “lu gue” dan membawa notebook ke kampus. Walah, yang seperti itu kok nggak kebayang pas jamannya Mbak Ayu masih menuntut ilmu ya.
Anyway (malah jadi ngrasani kampus lho) si Mbak Ayu ini tanpa kesulitan berarti diterima di BUMN gemuk yang saking gemuknya tidak gesit gerakannya. Padahal Mbak, di luar sana itu banyak yang masih gedongsangan nyari kerja. Puji syukur Alhamdulillah (wah, klo ngomongin Mbak Ayu yang satu ini, bisa banyak puji syukur Alhamdulillah yang keluar), karena dengan begitu berarti Mbak Ayu tidak merasakan susahnya nasib sekian ribu pencari kerja di negeri ini.
Nah, dengan turut bergabung di BUMN itu tadi, Mbak Ayu sudah bisa membiayai hidupnya sendiri di belantara ibu kota, intinya tidak ngrepoti orang tua. Termasuk bisa jalan-jalan buat ngecap paspor dan pergi umroh.
Di suatu malem, ketika lagi aku baca buku Amy Tan, The Joy Luck Club (ini buku kuno, dapetnya aja dari situs yang njual buku bekas. Secara udah nggak dicetak lagi), Mbak Ayu berkenan berkunjung ke kosanku dan tiba-tiba sudah masuk ke kamarku.
“Dek Mbul (ini panggilan sayangku dari orang-orang terdekat, berasal dari kata dasar “gembul” yang menggambarkan kapasitas dan kemauanku dalam menampung makanan), kerja jadi pramugari itu enak ya kayaknya” tanpa basa-basi dan kata pembuka si Mbak berkata setelah meletakkan badan di karpet kamar. “Kadang pengen nyobain kerjaan yang lain, memang rumput tetangga selalu lebih hijau ya, Dek”
“Enak gimana to, Mbak? Lha wong kerja itu ya pasti ada enak nggak enaknya. Mungkin buat yang liat pramugari itu enak, kerja glamour, tapi kok kayaknya ya nggak enak juga ya Mbak. Secara kemaren pas aku pulang Jakarta naek G*r*d*, ndilalah dapet kursi paling belakang nggak sengaja denger obrolan mas pramugara dengan pursernya (purser lho, bukan puser). Kata Pak Purser,”…untung dapet yang penerbangannya pendek pendek, lha klo panjang panjang pendek, balikpapan xxxx ….nyebut nama kota, tapi aku lupa, bisa xxxxx, lupa kata-katanya, pokoknya intinya tepar, gempor, dan sebangsanya. Kan berarti capek juga mbak, nggak enak juga.” jawabku agak ngengkel (ngengkel = ngeyel)
Si Mbak masih belum berubah pikiran, “Jadi pramugari itu kan enak bisa terbang ke mana-mana gratis. Sebenarnya sih yang menarik buat aku bukan itu, tapi bisa liat banyak tempat baru, kerja nggak monoton. ”
Aku agak geli juga dengan argumen si Mbak, kok kayak anak kecil saja masak alasannya enak karena bisa terbang ke mana-mana gratis.”Mbak, kalo pramugari terbang disuruh bayar mana ada yang mau, wong mereka itu kerja. Mosok disuruh bayar, lha nanti nggak beda dengan customernya (nggak mau pake kata penumpang, secara kita mbayar kok disebut “numpang”). Klo airline internasional sih mending Mbak, memang lebih banyak tempat yang bisa dilihat, daerah jelajah juga lebih luas. Tapi kalo maskapai yang terbangnya nggak ke banyak kota bisa bosen juga kali Mbak. Jakarta-Semarang, Jakarta-Pangkal Pinang, Jakarta-Solo, lama-lama jenuh juga. Dulu tuh aku pernah lho satu kosan sama pramugari-pramugari S*******a, sama aja kayak kita Mbak. Pulang kerja juga capek, wong mereka di pesawat kan bukannya tidur kayak kita, tapi harus melayani penumpang. Mana kalo mau terbang pagi, kita masih tidur mereka udah mandi, dandan rapi, pake sepatu, trus nunggu jemputan. Lha itu persiapannya dari jam-jam kita biasa sholat tahajud. Apa nggak hebat mereka itu, yang orang lihat glamournya saja kali Mbak tapi sebenernya kerja keras juga (pantesan kadang ada yang jutek gitu ya klo di pesawat :D)”
”Maksudku tuh gini lho,” si Mbak menjelaskan lebih lanjut,”aku pengen bisa punya waktu luang buat bepergian ke banyak kota, banyak negara, ketemu banyak orang, dan melakukan hal-hal yang aku sukai di tempat-tempat itu. Kalau aku jadi pramugari, hal-hal itu lebih masuk akal buat terjadi daripada kalau aku dalam posisiku sekarang kan? Eight to five, five days a week, nggak bisa ditinggal. Padahal minatku bukan di hal-hal monoton yang rutin begitu. Yang bisa membuat aku bahagia itu, kalau bisa melihat gunung, laut, alam bebas, trus jalan-jalan ke lokasi baru, belajar budaya dan bahasa baru. Tapi kok terdamparnya di posisi begini ya?”
Wah, dalem juga nih batinku. Ini seperti orang yang menyadari bahwa ketika dia menoleh ke belakang ternyata jalan hidupnya tidak sama seperti yang dia impikan.
“Lha trus gimana Mbak, apa mau melepas pekerjaan yang sekarang?”
”Nah itulah Dek, terkadang kita sudah merasa sedemikian nyamannya sampai kita lupa bahwa ada mimpi yang belum kita raih. Sudah males buat keluar dari comfort zone kita. Jadinya ya sekedar menjalani hidup. Penekanan utamanya bukan di pertanyaan maukah melepas pekerjaan yang sekarang, namun pada apakah hidup kita sudah sesuai dengan yang kita inginkan? Dan bila tidak, beranikah kita membuat suatu langkah radikal buat merubahnya? Susah lho itu, nggak gampang.”
Kayaknya topik Mbak Ayu, bahwa menjadi pramugari itu enak sekedar preambule saja, wong nyatanya inti obrolannya dualem tuenan (versi hiperbolis dari sangat dalam). Comfort zone, langkah radikal, walah kata-kata apalagi yang akan muncul dalam diskusi ini?
”Oh, ini mungkin seperti saat saya UMPTN buat kedua kali itu Mbak, (dulu saya sempet kuliah setaun di kampus negeri yang satu dan pindah ke kampus negeri yang lain taun depannya). Dulu memang awalnya, sejak SMU saya sudah ngimpi-ngimpi kuliah di jurusan itu, pas giliran bener-bener ketrima kok nggak seperti bayangan saya ya. Makanya taun depannya saya UMPTN lagi, alhamdulillah ketrima.”
”Itu bedanya Dek, saat kita masih muda (aduh Mbak, lha sekarang ini aku juga masih ngerasa muda je) dengan saat ini. Sekarang taruhannya lebih besar. Aku ada beberapa kenalan yang terus menerus mengeluh tentang pekerjaannya, perusahaan tempat dia bekerja, atmosfer kerjanya. Tiap saat keluhannya selalu sama, tapi ya itu tetep aja mereka kerja di situ. Nggak pindah atau berusaha pindah. Awalnya aku suka ngasih info lowongan kerja, lama-lama ya nggak pernah lagi. Soalnya keluhan mereka itu sekedar curhat saja, tanpa upaya berarti. Dikasih info lowongan berapa pun juga nggak bakalan dicoba. Banyak yang seperti itu, itu sekedar contoh saja.....” si Mbak tersenyum.
Aku manggut-manggut saja, tau banget arti kata si Mbak dengan ”sekarang taruhannya lebih besar”.
”Terus gimana dong Mbak? Kita harus milih apa kalau kondisinya seperti itu?”
” Hidup kita ini kan ujian sebenernya. Kita punya kepala buat mikir (mungkin maksud si Mbak otak yang buat mikir, bukan kepala), punya hati buat merasakan. Kalau ternyata dalam memutuskan sesuatu, kepala dan perasaan kita itu salah ya paling tidak kita sudah berusaha. Sudah berusaha itu kuncinya, intinya. Nah sekarang, apakah usaha kita sudah maksimal?” wajah manis si Mbak sekarang jadi serius.
Wah, sialan bener. Kok bisa kata-kata ”apakah usaha kita sudah maksimal” keluar di obrolan ini. Lha jelas-jelas tersindir to saya, secara banyak hal yang saya lakukan dengan target sedang-sedang saja, jelas-jelas achievable. Tau jam kantor mulai jam delapan pagi, baru mandi jam setengah delapan. Mentang-mentang kos deket kantor. Kalo nyampe kantor telat, ya biasa saja. Sejauh tidak ada kerjaan menanti, tak ada rapat pagi, telat dikit gak papalah. Ini apa tidak menjelaskan dengan jelas sekali bahwa usaha saya buat tiba di kantor on time sangat tidak maksimal? Ini baru masuk kantor lho, belum yang lain-lain. Wah, harus ada usaha pembiasan arah pembicaraan nih (pembiasan = pembelokan, entah kenapa saya kok tiba-tiba inget Bu Nunuk guru fisika SMP saya), kalau nggak saya bakalan merasa bersalah, merasa jadi pesakitan, jadi tertuduh, spesimen manusia yang tidak berusaha maksimal, blaik tenan.
”Nah kalau begitu, untuk kasus temen-temen Mbak yang nggak pindah kerjaan itu bisa jadi memang ijtihad mereka, hasil kerja kepala dan perasaan mereka mengatakan untuk tidak pindah kerja. Kan bisa saja, Mbak.”
”Kalau memang begitu, ya jangan keseringan mengeluh kalau memang ijtihadnya nggak pindah kerjaan...”, si Mbak kembali tersenyum manis.
Dalam hati aku agak bingung, lha yang tadi masuk kamarku komplen tentang rumput tetangga pramugari yang lebih hijau itu sapa lho? Bukankah obrolan ini diawali dengan ketidakpuasan? Dengan keluhan? Wah si Mbak ini kayaknya memang pengen membuatku mikir dikit, itung-itung olahraga otak. Mungkin dipikirnya kerjaan staff nggak banyak mikir, daripada turun IQ mending dipanasi. Kalo tak pikir-pikir, obrolan dengan si Mbak ini menggiring ke arah pemikiran dan perenungan sebagai berikut :
1. Rumput tetangga selalu lebih hijau, beware
2. Temukanlah hal-hal yang kita sukai yang bisa membuat kita bahagia dan lakukan hal-hal tersebut (jangan cuma ditemukan doang)
3. Coba tengok ke belakang, sudahkah hidup kita sesuai dengan yang kita impikan?
4. Apa batasan comfort zone kita (yang disebut Mbak Ayu dengan taruhan yang besar tadi), beranikah kita keluar dari comfort zone buat mencapai mimpi kita?
5. Apakah dalam hidup ini, kita sudah berbuat maksimal?
6. Apakah tindakan, keputusan dan pilihan kita sudah dibuat dengan pemikiran matang (kepala dan hati)?
7. Ketika kita sudah menjalani pilihan kita, apakah kita sudah ikhlas menjalaninya? Tidak mengeluh? Tidak menghujat?
Dan ketika aku masih tercenung-cenung dengan diskusi ini dan betapa tidak nyambungnya antara topik pembuka dan penutupannya (waduh Mbak, maklum masih belajar jadi yang nyangkut bukan hal-hal penting tapi malah betapa tidak nyambungnya pembukaan dan penutupannya), Mbak Ayu sudah pergi keluar dari kamarku.....

Gondangdia kecil, 27-29 Maret 2008